Senin, 27 Desember 2010

KISAH PUPUTAN MARGARANA

ALKISAH puputan, margarana cuuuyyyy.....
wajib di baca....



Pada Tanggal 20 November 1946 terjadilah pertempuran habis-habisan antara pasukan pejuang Republik Indonesia melawan kaum penjajah Belanda,di Banjar Kelaci, Desa Marga di bawah pimpinan Kolonel I Gusti Ngurah Rai. Pertempuran ini terkenal dengan nama Perang Puputan Margarana.

I Gusti Ngurah Rai beserta segenap pasukannya gugur didalam pertempuran tersebut dan seluruh abu jenazah para pahlawan bangsa ini dimakamkan di sini, yang terletak kurang lebih 25 km dari Denpasar atau kurang lebih 10 km dari kota Tabanan.

Di Candi Pahlawan ini kita dapat menyaksikan beberapa tulisan yang merupakan surat dari I Gusti Ngurah Rai bersama seluruh anggota pasukannya yang terkenal dengan sebutan CIUNG WANARA tidak akan mau berkompromi atau menyerah kepada penjajah.

Perjalanan kali ini kita akan mengenal objek sejarah dan juga tempat wisata di kabupaten Tabanan, yaitu Puputan Margarana. Perjalanan kurang lebih 20 menit dari pusat kota Tabanan dan 1 jam dari Kuta.

Hari itu hari minggu, hari libur dan kami ingin sekali mengetahui seberapa besar animo terutama anak-anak muda untuk berkunjung ke objek peninggalan sejarah penting ini. Dan…ternyata belum banyak juga, tapi syukur masih ada beberapa yang terlihat.

Sebelum memasuki tempat ini, di depannya tertera nama-nama prajurit yang gugur dalam perjuangan bersama I Gusti Ngurah Rai. Pasukan pendukung Gusti Ngurah Rai dikenal dengan nama “Ciung Wanara”.Totalnya kurang lebih 1372 dan pejuangnya berasal dari seantero Bali.

Beliau memiliki pasukan yang bernama “Ciung Wenara” melakukan
pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan Margarana.
(Puputan, dalam bahasa bali, berarti “habis-habisan”, sedangkan
Margarana berarti “Pertempuran di Marga”; Marga adalah sebuah desa
ibukota kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali)

Bersama 1.372 anggotanya pejuang MBO (Markas Besar Oemoem) Dewan
Perjoeangan Republik Indonesia Sunda Kecil (DPRI SK) dibuatkan nisan di
Kompleks Monumen de Kleine Sunda Eilanden, Candi Marga,
Tabanan. Detil perjuangan I Gusti Ngurah Rai dan resimen CW dapat
disimak dari beberapa buku, seperti “Bergerilya Bersama Ngurah Rai”
(Denpasar: BP, 1994) kesaksian salah seorang staf MBO DPRI SK, I Gusti
Bagus Meraku Tirtayasa peraih “Anugrah Jurnalistik Harkitnas 1993″,
buku “Orang-orang di Sekitar Pak Rai: Cerita Para Sahabat Pahlawan
Nasional Brigjen TNI (anumerta) I Gusti Ngurah Rai” (Denpasar: Upada
Sastra, 1995), atau buku “Puputan Margarana Tanggal 20 Nopember 1946″
yang disusun oleh Wayan Djegug A Giri (Denpasar: YKP, 1990).

Memasuki kawasan ini, kita akan melihat monument lengkap dengan photo pahlawan nasional ini. Di sebelah photo tertera surat dari Gusti Ngurah Rai yang ditujukan kepada Belanda (Nica) bahwa kemerdekaan adalah hak warga Indonesia dan kehadiran Belanda dan sekutu hanya menyebabkan penderitaan rakyat. Beliau juga menolak untuk berunding karena menyerahkan sepenuhnya kepada pimpinan di Jawa.

Ke dalam lagi, kita akan disuguhkan dengan sesuatu yang menarik. Ribuan nisan-nisan kecil lengkap dengan nama-nama yang gugur berjejer rapi. Jumlahnya juga persis seperti yang dilihat di depan tadi.

Ada juga perpustakaan yang menampilkan photo-photo dan kisah-kisah perjalanan dan perjuangan Gusti Ngurah Rai juga.

Untuk menghormati jasa-jasa beliau, nama I Gusti Ngurah Rai kemudian diabadikan menjadi nama airport satu-satunya di Bali dan juga jalan utama di Bali.

So, bagi yang tertarik untuk mengunjungi objek peninggalan sejarah tempat dimakamkannya pahlawan nasional Gusti Ngurah Rai, bisa datang ke tempat ini.

Minggu, 26 Desember 2010

Barong, Wabah Penyakit sampai Calonarang

penyon bersabda agy,.,
yang suka gaib" baca dah nie........
Barong dalam kehidupan beragama di masyarakat Hindu Bali seolah sudah menjadi satu kesatuan. Sesuhunan di pura yang pada umumnya berujud barong, sangat disakralkan dan dihormati. Barong merupakan suatu sarana tari yang di-sunggi oleh satu atau dua orang, dan ditarikan bersama-sama. Menurut sejumlah narasumber, kata barong berasal dari barung atau bareng-bareng (bersama-sama) dan beriringan. Dari sana dapat disimpulkan bahwa barong merupakan simbolis dari persatuan. Adanya barong akan menyebabkan berkumpulnya orang-orang yang memiliki pemikiran sejalan, selanjutnya dari sana kemudian terbentuklah suatu sekaa atau perkumpulan. Dalam lingkup yang lebih luas berkembang menjadi pemaksan, banjar, desa, dan yang lebih luas lagi.

-----------------



AWALNYA, sebagaimana dijelaskan Jero Mangku Wayan Candra dari Sesetan, Denpasar, kehadiran barong di masyarakat diyakini sebagai bentuk permainan yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja pada masa yang lampau. Suatu saat para pemainnya ada yang terkena pengaruh gaib, mereka kerasukan roh halus. Mungkin pada waktu itu terjadi komunikasi, sehingga untuk selanjutnya barong dijadikan sebagai benda sakral yang memiliki fungsi sebagai pengayom masyarakat penyungsung-nya.

Pendapat lain ada yang menyebutkan bahwa barong kemungkinan besar ada hubungan dengan tari singa barong dari Cina. Hubungan sejarah masa lalu antara negeri Cina dengan kerajaan di Nusantara -- khususnya Bali -- memang pernah terjalin dengan mesra. Sampai sekarang, hal itu masih dapat dilihat, banyak peninggalan yang ada kemiripan dengan apa yang ada di negeri Cina, seperti damar kurung yang mirip dengan lampu lampion. Penyebaran singa barong Cina ini kemungkinan besar masuk ke Bali pada masa pemerintahan dinasti Tang di Cina sekitar abad ke-7 sampai ke-10.



Serangan Wabah

Dalam lontar "Barong Swari" diceritakan bahwa Betara Ciwa mengutuk Dewi Uma turun ke dunia menjadi Dewi Durga. Selama berada di dunia, Dewi Durga melakukan tapa semadi. Diceritakan, saat Dewi Durga bersemadi menghadap ke arah utara, maka muncullah wabah penyakit yang disebut gering lumintu. Wabah mematikan ini menyerang sekalian manusia penghuni dunia. Lalu, ketika Dewi Durga bersemadi menghadap ke barat, munculah wabah penyakit yang disebut gering hamancuh. Ketika bersemadi menghadap ke selatan, muncul wabah gering rug bhuana. Dan saat bersemadi menghadap ke timur, terjadilah wabah gering muntah mencret.

Akibat dari semua itu, akhirnya wabah menyerang ke mana-mana. Banyak penghuni bumi yang meninggal dunia karenanya. Hal ini membuat gundah Sang Hyang Tri Murti -- Brahma, Wisnu, dan Ciwa. Beliau kemudian turun ke dunia dan masing-masing berubah wujud. Betara Brahma menjadi topeng bang, Wisnu berubah wujud menjadi telek, dan Ciwa menjadi barong.

Sampai kini, memang belum ada yang dapat memastikan asal-usul barong secara pas. Namun, itu bukanlah hal yang perlu dirisaukan, sebab masyarakat Hindu Bali, dengan keyakinannya yang sangat tebal, tetap menjadikan barong sebagai sungsungan yang akan memberikan mereka rasa aman dan keselamatan. Bagi mereka, barong adalah cerminan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala aspek dan manifestasinya.

Itulah sebabnya sampai kini masyarakat Hindu Bali masih tetap menjadikan barong sebagai sungsungan dan diperlakukan penuh dengan rasa hormat dan semangat pengabdian yang tinggi. Keyakinan akan kekuatan gaib yang dimiliki barong menyebabkan di beberapa desa di Bali sering dilangsungkan "barong ngelawang" -- kegiatan pertunjukan barong mengelilingi desa. Kegiatan semacam ini biasanya dilaksanakan pada Hari Raya Galungan-Kuningan, dan hari-hari baik tertentu.

Barong yang mengelilingi desa itu pada tempat-tempat tertentu akan beratraksi diiringi gamelan. Pada saat itu banyak penduduk yang meminta rombongan barong tersebut beratraksi di depan rumah mereka, kemudian menghaturkan canang dengan sesari sejumlah uang seikhlasnya. "Kalau direnungkan lebih dalam, maka akan terlihat di sini bahwa tujuan dari barong ngelawang itu, di samping untuk mengusir penyakit (gering), juga dimaksudkan untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma," ujar Jero Mangku Wayan Candra.



Ada 17 Jenis

Di Bali, sampai saat ini sudah tercatat ada 17 jenis barong. Bentuknya ada yang berupa hewan dan ada juga yang menyerupai manusia. Barong-barong tersebut adalah barong ket, barong bangkal, barong asu, barong macan, barong gajah, barong landung, barong brutuk, barong kedingkling, barong dawang-dawang, barong gegombrangan, barong sae, barong kambing, barong singa, barong lembu, barong jaran, barong manjangan, dan barong nagasari.

Kesaktian barong sebelum dijadikan sesuhunan oleh masyarakat Hindu Bali, terlebih dahulu harus melalui tahap pengujian. Hal ini penting dan perlu, karena sebagai pengayom nantinya barong itu harus memiliki kekuatan untuk melindungi masyarakat dari berbagai gangguan penyakit dan keamanan. Untuk itulah, sebelum barong itu berwujud, terlebih dahulu masyarakat akan mengadakan musyawarah untuk mendapatkan bahan barong.

Biasanya yang paling penting di sini adalah tapel (topeng) barong. Untuk membuat tapel barong biasanya dipergunakan kayu tertentu seperti kayu pule dan jepun. Kayu ini biasanya dicari di tempat-tempat tertentu yang terkenal angker dan memiliki kekuatan gaib. Untuk mendapatkan kayu tersebut, biasanya dicari hari baik serta dengan memakai sesajen banten pejati dan segehan. Selanjutnya, dicarikan hari baik lagi untuk proses pembuatan tapel tersebut.

Menurut Mangku Candra, sebaiknya yang mengerjakan tapel itu adalah seorang undagi, yaitu tukang yang sudah pernah dibersihkan dengan sarana upacara seperti mawinten atau pun maekajati. Ini penting, karena pada saat itu undagi tersebut sudah pasti mampu berperan sebagai seorang brahmana. Pada saat ini diperlukan sesajen berupa daksina gede dan pejati.

Badan barong terbuat dari rangka kayu dan bambu, yang kemudian ditutupi dengan semacam bulu. Selanjutnya, di antara bulu-bulunya itu dihias dengan bentuk-bentuk tertentu yang sarat dengan ukiran dan potongan kaca kecil-kecil yang ditata sedemikian rupa dan ini merupakan busana dari barong tersebut. Bulu untuk barong yang umum dipakai ada bermacam-macam seperti perasok, bagu, ijuk, bulu ayam, bulu burung, sutera asli, dan sutera sintetis.

Setelah barong itu jadi dan sebelum resmi di-sungsung oleh masyarakat, maka terlebih dahulu akan dilakukan upacara. Upacara-upacara tersebut sebagai berikut. Pertama, melaspas (upacara pembersihan) dengan tujuan untuk membersihkan keletehan (noda) baik yang bersifat sekala (nyata) atau pun niskala (tidak nyata) yang terdapat pada kayu dan pada saat penggarapannya. Hal ini penting agar kayu yang sudah menjadi tapel itu bersih dan suci. Pada proses ini juga dilakukan pengisian pedagingan yang terdiri dari emas, perak, dan tembaga, serta permata warna merah yang ditempatkan pada ubun-ubun barong.

Kedua, upacara pasupati yakni unsur kekuatan diisikan pada barong. Selanjutnya, upacara mejaya-jaya, yaitu upacara memohon restu di pura seperti Dalem Khayangan Tiga. Setelah itu, barulah dilakukan upacara masuci atau ngerehang. Tujuan dari upacara ini adalah agar barong tersebut menjadi suci, dan ada yang ngalinggihin. Caranya ada dua macam, bisa dilakukan di kuburan dan bisa juga dilakukan di pura. Kalau dilakukan di kuburan, maka diperlukan tiga buah tengkorak manusia sebagai alas duduk. Sementara kalau dilakukan di pura, maka ketiga tengkorak tadi boleh diganti dengan tiga butir kelapa gading. Biasanya, acara akan berlangsung pada tengah malam dan pada hari-hari tertentu seperti kajeng kliwon misalnya.



Atraksi Calonarang

Menurut Jero Mangku Wayan Candra yang sudah biasa membuat barong, hal yang tak boleh dilupakan adalah pecalonarangan. Artinya, barong yang sudah melewati proses upacara tadi melakukan atraksi pertunjukan atau ditarikan yang biasanya mengambil tema Calonarang. Seperti diketahui, tema cerita Calonarang tersebut mengandung unsur ilmu gaib yaitu ilmu hitam dan ilmu putih. Dengan demikian dalam pertunjukan tersebut nantinya memungkinkan adanya acara pengerehan dan pengundangan.

Yang terpenting di sini adalah acara pengundangan, yakni semua penganut ilmu hitam akan diundang untuk menjajal kesaktian. Di sini nantinya akan kelihatan, apakah barong tersebut hebat atau tidak. Selentingan di masyarakat memang sering terdengar, ada penari barong yang tiba-tiba mengalami sakit keras dan meninggal dunia. Tapi selentingan semacam itu pada akhirnya lenyap tertiup angin.

Kegaiban barong pada saat masuci atau ngerehang sering terlihat oleh banyak pasang mata, pada barong seperti memancar cahaya putih. Di samping itu, ada juga kejadian gaib lainnya, gigi barong berbunyi gemeretuk padahal tidak ada yang menggerakkan. Di beberapa desa, jika terjadi wabah, masyarakat akan memohon air suci yang diperoleh dari basuhan jenggot barong untuk dipakai menolak bala atau pun menyembuhkan penyakit. Dan itu terbukti berhasil.

Asal usul leak.....

klo pengen belajar ngeleak.....
penyon mau ngajarin.....
whahahahahahahahaha,..,,..
::

Leak, leak penyon.......

Leak merupakan salah satu warisan ilmu sakral di Bali.
Cerita Leak di Bali merupakan cerita yang penuh dengan misteri dan mistik..
Menurut cerita Leak terkenal di Bali merupakan jelmaan manusia.Manusia atau rohnya bisa berubah wujud menjadi leak atau rupa yang lain menurut yang dikehendaki atau menurut tingkatan ilmu manusia itu sendiri.yang terkenal di Bali Leak pada umumnya merupakan ilmu hitam.
Orang yang bisa nge-Leak biasanya orang yang sudah usia lanjut.
Ilmu Leak menurut cerita bisa didapatkan dari belajar atau memang keturunan,yaitu keturunan Leak.Dari nenek,ibu dan anaknya menjadi pewaris.
Menurut cerita pula orang yang bisa nge-Leak dari belajar biasanya usil.Suka mengangu orang.Atau Cuma sekedar menakut-nakuti.
Mereka yang bisa Nge-Leak dapat merubah wujudnya dari tingkatan yang paling kecil sampai tingkatan yang tinggi.Mulai dari Siap Olagan ( ayam tanpa bulu ),kera, sampai menjadi asap atau menjadi bangke ( mayat tertutup kain kafan ) dan lain-lain.
Dan semua orang yang bisa nge-Leak sudah tentu mendapat penugrahan dari Betari Durga ( penguasa kuburan ).

Rabu, 22 Desember 2010

Dibalik Kisah Puputan Badung..^_^

Tau puputan badung??
kayak lagu t-xxx...wkwkwkwkw..
penyon bersabda :
PUPUTAN Badung yang terjadi 99 tahun lalu, tepatnya 20 September 1906, masih menyisakan kenangan, terutama di kalangan keluarga Puri dan pewarisnya. Bicara soal Puputan Badung memang tidak lepas dari keberadaan dan kehidupan Puri di Denpasar. Satu di antaranya Puri Kesiman.


“Ida Batara meninggalkan satu saksi bisu berupa Puri Kesiman yang tetap eksis hingga kini,” ujar A.A. Ngurah Bagus Ariman (66) salah seorang penglingsir Puri Kesiman. Walaupun tidak terlibat langsung, tetapi lelaki pensiunan karyawan Hotel Bali Beach ini mengingat jelas apa yang dituturkan kakek-kakeknya ketika dia masih kecil.
“Tiga hari menjelang Puputan, Raja Kesiman meninggal karena dibunuh patih kepercayaannya,” katanya. Semestinya, Puri Kesiman yang hancur lebih dulu karena dilalui pasukan Belanda yang sedang menuju Puri Denpasar. Keadaan jadi kacau balau, karena sudah tidak ada rajanya, Puri kosong, semua lari ke Denpasar, memperkuat pasukan di Denpasar. Itulah sebabnya Puri Kesiman tidak hancur. “Mungkin memang sudah kehendak Ida Betara untuk meninggalkan satu saksi bisu, yaitu Puri Kesiman seperti yang kita bisa saksikan sampai saat ini”, tambahnya.
Penglingsir Puri Kesiman yang lain, Anak Agung Sagung Oka Dewi (90) mengaku mengenal cerita Puputan Badung dari ibunya, Anak Agung Sagung Ketut (alm), yang dulu tinggal di Puri Denpasar saat perang puputan terjadi. Saat itu, menurut Sagung Oka Dewi, ibunya baru berusia sekitar 7 tahunan. Masih diingatnya ketika ibunya bercerita bahwa sebelum Puputan Badung, digelar upacara ngaben untuk kakak Raja. Ketika anak-anak sedang bermain, terdengar tembakan meriam. Anak-anak berlari ketakutan, ada yang menangis ketakutan. Konon ibu dari Sagung Oka juga menangis karena takut. Ibu Raja Denpasar yang biasa dipanggilnya Anak Agung Ratu kemudian memerintahkan semua warga Puri Denpasar untuk bersiap-siap. Beliau memberikan perhiasan dan kain-kain yang indah serta mahal untuk dipakai. Kemudian semuanya diberikan kain putih, seperti hendak berupacara.
Saat Anak Agung Ratu memerintahkan untuk berperang menyongsong kematian, diperintahkan juga agar anak-anak yang ketakutan agar diungsikan ke Puri Kapal, Mengwi. Termasuk Anak Agung Sagung Ketut. “Tolong bawa anak-anak ini pergi, agar tangisnya tidak menghambat perjalanan kita,” perintah Anak Agung Ratu yang masih diingat Anak Agung Sagung Ketut dan kemudian pernah diceritakan kembali kepada putrinya.
Suaasana yang diceritakan Sagung Oka Dewi tersebut tak jauh beda dengan yang diuceritakan Dr. H.M. van Weede dalam tulisannya. Orang Belanda yang terlibat kangsung dalam perang Puputan Badung itu menulis: “Saat drama tersebut berlangsung, dengan bersenjatakan tombak dan keris terhunus, para raja dan pengikutnya berpakaian serba indah dalam warna merah atau hitam serta memakai selendang putih, terus bergerak maju sampai ajal menjemput. Ada juga yang menikam diri dan anak-anaknya dengan keris”. -ten

Hey tmen" tau selat bali gx????

ni penyon kasi tau....
Asal Mula Selat Bali
Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran.

Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, “Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau memberi sedikit hartanya.”

Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya.

Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.

Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, “Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma.”

Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.

Mendengar kematian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.

“Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini,” katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.

Selasa, 21 Desember 2010

Asal mula nama Bali

Nama BALI sudah sedemikian mendunia, bahkan para bule lebih mengenal Bali dari Indonesia. Sebelum tahun 1990, bule-bule ini sering kebingungan kalau kita mengatakan dari Indonesia, mereka malah balik nanya “Indonesia itu disebelah mananya Bali sih?� (hehehe…baru dikasih tahu kalo Bali is part of Indonesian, jawaban mereka “ohh really??..�). Tapi tahukah anda darimana asal nama BALI untuk pulaunya Dewata ini?.

Kedatangan seorang Maha Rsi Markandeya abad ke-7 memberikan pengaruh yg besar kepada kehidupan penduduk Bali. Beliau adalah seorang pertapa sakti di Gunung Raung, Jawa Timur. Suatu hari beliau mendapat bisikan gaib dari Tuhan untuk bertempat tinggal di sebelah timur pulau Dawa (pulau Jawa sekarang-red). Dawa artinya panjang, karena memang dulunya pulau Jawa dan Bali menjadi satu daratan. Dengan diikuti oleh 800 pengikutnya, beliau mulai bergerak kearah timur yg masih berupa hutan belantara. Perjalanan beliau hanya sampai di daerah Jembrana sekarang (Bali Barat) karena ¾ pengikut beliau tewas dimakan harimau dan ular-ular besar yg menghuni hutan. Akhirnya beliau memutuskan kembali ke Gunung Raung untuk bersemadhi dan mencari pengikut baru. Dengan semangat dan tekad yg kuat, perjalanan beliau yg kedua kalinya sukses mencapai tujuan di kaki Gunung Agung (Bali Timur) yg sekarang disebut Besakih. Sebelum pengikutnya merabas hutan, beliau melakukan ritual menanam Panca Dhatu berupa 5 jenis logam yg dipercayai mampu menolak bahaya. Perabasan hutan sukses, tanah-tanah yg ada beliau bagi-bagi kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tegalan, rumah dan tempat suci yg dinamai Wasukih (Besakih). Disinilah beliau mengajarkan agama kepada pengiringnya yg menyebut Tuhan dengan nama Sanghyang Widhi melalui penyembahan Surya (surya sewana) 3 kali dalam sehari dengan menggunakan alat-alat bebali yaitu sesajen yg terdiri dari 3 unsur benda: air, api, bunga harum. Ajaran agamanya disebut agama Bali. Lambat laun para pengikutnya mulai menyebar ke daerah sekitar, sehingga daerah ini dinamai daerah Bali, daerah yg segala sesuatunya mempergunakan bebali (sesajen).

Bisa disimpulkan bahwa nama Bali berasal dari kata BEBALI yg artinya SESAJEN. Ditegaskan lagi dalam kitab Ramayana yg disusun 1200SM: “Ada sebuah tempat ditimur Dawa Dwipa yg bernama Vali Dwipa, dimana disana Tuhan diberikan kesenangan oleh penduduknya berupa bebali (sesajen)�. Vali Dwipa adalah sebutan untuk Pulau Vali yg kemudian berubah fonem menjadi Pulau Bali atau pulau sesajen. Tidak salah memang interpretasi ini melihat orang Bali yg memang tidak bisa lepas dari sesajen dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.

Kisah Rakyat Bali : Jayaprana dan Layonsari

Dua orang suami istri bertempat tinggal di Desa Kalianget mempunyai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh karena ada wabah yang menimpa masyarakat desa itu, maka empat orang dari keluarga yang miskin ini meninggal dunia bersamaan. Tinggalan seorang laki-laki yang paling bungsu bernama I Jayaprana. Oleh karena orang yang terakhir ini keadaannya yatim piatu, maka ia puan memberanikan dirimengabdi di istana raja. Di istana, laki-laki itu sangat rajin, rajapun amat kasih sayang kepadanya.
Kini I Jayaprana baru berusia duabelas tahun. Ia sangat ganteng paras muka tampan dan senyumnya pun sangat manis menarik.

Beberapa tahun kemudian.
Pada suatu hari raja menitahkan I Jayaprana, supaya memilih seorang dayang-dayang yang ada di dalam istana atau gadis gadis yang ada di luar istana. Mula-mula I Jayaprana menolak titah baginda, dengan alasan bahwa dirinya masih kanak-kanak. Tetapi karena dipaksan oleh raja akhirnya I Jayaprana menurutinya. Ia pun melancong ke pasar yang ada di depan istana hendak melihat-lihat gadis yang lalu lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita. Gadis itu bernama Ni Layonsari, putra Jero Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.
Melihat gadis yang elok itu, I Jayaprana sangat terpikat hatinya dan pandangan matanya terus membuntuti lenggang gadis itu ke pasar, sebaliknya Ni Layonsari pun sangat hancur hatinya baru memandang pemuda ganteng yang sedang duduk-duduk di depan istana. Setelah gadis itu menyelinap di balik orang-orang yang ada di dalam pasar, maka I Jayaprana cepat-cepat kembali ke istana hendak melapor kehadapan Sri Baginda Raja. Laporan I Jayaprana diterima oleh baginda dan kemudian raja menulis sepucuk surat.
I Jayaprana dititahkan membawa sepucuk surat ke rumahnya Jero Bendesa. Tiada diceritakan di tengah jalan, maka I Jayaprana tiba di rumahnya Jero Bendesa. Ia menyerahkan surat yang dibawanya itu kepada Jero Bendesa dengan hormatnya. Jero Bendesa menerima terus langsung dibacanya dalam hati. Jero Bendesa sangat setuju apabila putrinya yaitu Ni Layonsari dikawinkan dengan I Jayaprana. Setelah ia menyampaikan isi hatinya “setuju” kepada I Jayaprana, lalu I Jayaprana memohon diri pulang kembali.
Di istana Raja sedang mengadakan sidang di pendopo. Tiba-tiba datanglah I Jayaprana menghadap pesanan Jero Bendesa kehadapan Sri Baginda Raja. Kemudian Raja mengumumkan pada sidang yang isinya antara lain: Bahwa nanti pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya I Jayaprana dengan Ni Layonsari. Dari itu raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk I Jayaprana.
Menjelang hari perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara gotong royong semuanya serba indah. Kini tiba hari upacara perkawinan I Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa, hendak memohon Ni Layonsari dengan alat upacara selengkapnya. Sri Baginda Raja sedang duduk di atas singgasana dihadap oleh para pegawai raja dan para perbekel baginda. Kemudian datanglah rombongan I Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu harus turun dari atas joli, terus langsung menyembah kehadapan Sri Baginda Raja dengan hormatnya melihat wajah Ni Layonsari, raja pun membisu tak dapat bersabda.
Setelah senja kedua mempelai itu lalu memohon diri akan kembal ke rumahnya meninggalkan sidang di paseban. Sepeninggal mereka itu, Sri Baginda lalu bersabda kepada para perbekel semuanya untuk meminta pertimbangan caranya memperdayakan I Jayaprana supaya ia mati. Istrinya yaitu Ni Layonsari supaya masuk ke istana dijadikan permaisuri baginda. Dikatakan apabila Ni Layonsari tidak dapat diperistri maka baginda akan mangkat karena kesedihan.
Mendengar sabda itu salah seorang perbekel lalu tampak ke depan hendak mengetengahkan pertimbangan, yang isinya antara lain: agar Sri Paduka Raja menitahkan I Jayaprana bersama rombongan pergi ke Celuk Terima, untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo menembak binatang yang ada di kawasan pengulan. Demikian isi pertimbangan salah seorang perbekel yang bernama I Saunggaling, yang telah disepakati oleh Sang Raja. Sekarang tersebutlah I Jayaprana yang sangat brebahagia hidupnya bersama istrinya. Tetapi baru tujuh hari lamanya mereka berbulan madu, datanglah seorang utusan raja ke rumahnya, yang maksudnya memanggil I Jayaprana supaya menghadap ke paseban. I Jayaprana segera pergi ke paseban menghadap Sri P aduka Raja bersama perbekel sekalian. Di paseban mereka dititahkan supaya besok pagi-pagi ke Celuk Terima untuk menyelidiki adanya perahu kandas dan kekacauan-kekacauan lainnya. Setelah senja, sidang pun bubar. I Jayaprana pulang kembali ia disambut oleh istrinya yang sangat dicintainya itu. I Jayaprana menerangkan hasil-hasil rapat di paseban kepada istrinya.
Hari sudah malam Ni Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia pun bangkit dari tempat tidurnya seraya menerangkan isi impiannya yang sangat mengerikan itu kepada I Jayaprana. Ia meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan berdasarkan alamat-alamat impiannya. Tetapi I Jayaprana tidak berani menolak perintah raja. Dikatakan bahwa kematian itu terletak di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Pagi-pagi I Jayaprana bersama rombongan berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan Ni Layonsari di rumahnya dalam kesedihan. Dalam perjalanan rombongan itu, I Jayaprana sering kali mendapat alamat yang buruk-buruk. Akhirnya mereka tiba di hutan Celuk Terima. I Jayaprana sudah meras dirinya akan dibinasakan kemudian I Saunggaling berkata kepada I Jayaprana sambil menyerahkan sepucuk surat. I Jayaprana menerima surat itu terus langsung dibaca dalam hati isinya:
“ Hai engkau Jayaprana
Manusia tiada berguna
Berjalan berjalanlah engkau
Akulah menyuruh membunuh kau

Dosamu sangat besar
Kau melampaui tingkah raja
Istrimu sungguh milik orang besar
Kuambil kujadikan istri raja

Serahkanlah jiwamu sekarang
Jangan engkau melawan
Layonsari jangan kau kenang
Kuperistri hingga akhir jaman.”

Demikianlah isi surat Sri Baginda Raja kepada I Jayaprana. Setelah I Jayaprana membaca surat itu lalu ia pun menangis tersedu-sedu sambil meratap. “Yah, oleh karena sudah dari titah baginda, hamba tiada menolak. Sungguh semula baginda menanam dan memelihara hambat tetapi kini baginda ingin mencabutnya, yah silakan. Hamba rela dibunuh demi kepentingan baginda, meski pun hamba tiada berdosa. Demikian ratapnya I Jayaprana seraya mencucurkan air mata. Selanjutnya I Jayaprana meminta kepada I Saunggaling supaya segera bersiap-siap menikamnya. Setelah I Saunggaling mempermaklumkan kepada I Jayaprana bahwa ia menuruti apa yang dititahkan oleh raja dengan hati yang berat dan sedih ia menancapkan kerisnya pada lambung kirinya I Jayaprana. Darah menyembur harum semerbak baunya bersamaan dengan alamat yang aneh-aneh di angkasa dan di bumi seperti: gempa bumi, angin topan, hujan bunga, teja membangun dan sebagainya.
Setelah mayat I Jayaprana itu dikubur, maka seluruh perbekel kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka sering mendapat bahaya maut. Diantara perbekel itu banyak yang mati. Ada yang mati karena diterkam harimau, ada juga dipagut ular. Berita tentang terbunuhnya I Jayaprana itu telah didengar oleh istrinya yaitu Ni Layonsari. Dari itu ia segera menghunus keris dan menikan dirinya. Demikianlah isi singkat cerita dua orang muda mudi itu yang baru saja berbulan madu atas cinta murninya akan tetapi mendapat halangan dari seorang raja dan akhirnya bersama-sama meninggal dunia.

nb.
sampai saat ini kisah cinta Jayaprana dan Layonsari membekas pada masyarakat Bali pada umumnya. banyak kisah-kisah tari dan drama yang mengisahkan kisah cinta mereka. dan peninggalan dua sejoli ini masih terawat dengan baik, yaitu kuburan yang dipercaya milik Jayaprana dan Layonsari.
Peninggalan Kuburan Jayaprana dan Layonsari ini terletak di kawasan hutan belukar Teluk Terima, Desa Sumber Klampok, Kecamatan Gerokgak, ± 67 km sebelah barat Kota Singaraja.